Gedung Perkantoran; Prioritaskan pengeluaran dalam rupiah. (Foto: Erman)
Tahun ini merupakan periode terakhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Kedua (KIB II) di bawah kepemimpinan Presiden Susilo bambang Yudhoyono. Tentu di penghujung masa pengabdian, rezim ini dituntut untuk dapat mewariskan kondisi perekonomian yang baik kepada rezim penerusnya siapapun presidennya.
Dalam dua bulan pertama tahun ini, kendati terlalu dini untuk menjadikan perkembangan indikator makroekonomi sebagai rujukan untuk keseluruhan tahun, namun paling tidak kinerja ekonomi dalam dua bulan itu bisa menjadi referensi.
Apapun hasilnya, semua itu akan menjadi titik pijak bagi kelangsungan wajah atau profil perekonomian Indonesia tahun 2014 ini. Setidaknya dua indikator makroekonomi yang bisa dikedepankan adalah lain inflasi dan neraca perdagangan.
Inflasi
Pada Februari 2014 lalu, terjadi inflasi sebesar 0,26% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 111,28. Dari 82 kota IHK, tercatat 55 kota mengalami inflasi dan 27 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Pontianak 2,73% dengan IHK 114,83 dan terendah terjadi di Bandar Lampung dan Probolinggo masing-masing 0,02% dengan IHK masing-masing 110,10 dan 112,25. Sedangkan deflasi tertinggi terjadi di Sibolga 2,43% dengan IHK 111,00 dan deflasi terendah terjadi di Tanjung dan Balikpapan masing-masing 0,18% dengan IHK 109,80 dan 111,96.
Laju Inflasi Februari 2014 |
%
|
% (y-o-y)
| |
Umum (Headline) |
0,26
|
7,75
| |
1 | Bahan Makanan |
0,36
|
9,62
|
2 | Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau |
0,43
|
7,59
|
3 | Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar |
0,17
|
5,89
|
4 | Sandang |
0,57
|
2,67
|
5 | Kesehatan |
0,28
|
3,99
|
6 | Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga |
0,17
|
3,78
|
7 | Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan |
0,15
|
13,10
|
Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks seluruh kelompok pengeluaran, yaitu kelompok bahan makanan 0,36%; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,43%; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,17%; kelompok sandang 0,57%; kelompok kesehatan 0,28%; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,17%; dan kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan 0,15%. Tingkat inflasi tahun kalender (Januari–Februari) 2014 sebesar 1,33% dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Februari 2014 terhadap Februari 2013) sebesar 7,75%.
Dengan tidak akan dinaikkannya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Tahun Politik ini, maka pengendalian laju inflasinya mustinya lebih mudah. Target mencapai inflasi 4,5%+/- 1% besar kemungkinan terjadi mengingat pola pembentukan inflasi bulanan sudah kembali ke jalur normal lagi.
Neraca Perdagangan
Sementara itu nilai ekspor Indonesia Januari 2014 mencapai US$14,48 miliar atau mengalami penurunan sebesar 14,63% dibanding ekspor Desember 2013. Demikian juga bila dibanding Januari 2013 mengalami penurunan sebesar 5,79%. Ekspor nonmigas Januari 2014 mencapai US$11,99 miliar, turun 11,60% dibanding Desember 2013, demikian juga bila dibanding ekspor Januari 2013 turun 5,76%.
Ekspor nonmigas ke Cina Januari 2014 mencapai angka terbesar yaitu US$1,82 miliar, disusul Amerika Serikat US$1,29 miliar dan Jepang US$1,20 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 35,95%. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$1,47 miliar.
Nilai CIF
(Juta US$)
| |
Perubahan
|
Peran thd. Total
| |||
Uraian |
Januari 2013
|
Desember 2013
|
Januari 2014
|
% Growth (mtm)
|
% Share
| |
Total Ekspor |
15.375,5
|
16.967,8
|
14.484,9
|
-5,79
|
100,00
| |
Migas |
2.653,7
|
3.405,1
|
2.496,2
|
-5,93
|
17,23
| |
Minyak Mentah |
671,9
|
858,6
|
497,4
|
-25,97
|
3,43
| |
Hasil Minyak |
382,9
|
500,8
|
293,8
|
-23,28
|
2,03
| |
Gas |
1.598,9
|
2.045,7
|
1.705,0
|
6,64
|
11,77
| |
Nonmigas |
12.721,8
|
13.562,7
|
11.988,7
|
-5,76
|
82,77
| |
Menurut sektor, ekspor hasil industri bulan Januari 2014 turun sebesar 2,31% dibanding periode yang sama tahun 2013, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya turun 20,30%, sedangkan ekspor hasil pertanian naik sebesar 3,30%. Ke de4pannya, pemerintah harus jeli mencermati komoditas yang potensial untuk diekspor sekaligus mencoba negara-negara baru sebagai tujuan ekspor alternatif.
Nilai impor Indonesia Januari 2014 mencapai US$14,92 miliar atau turun 3,50% (US$0,54 miliar) dibanding impor Desember 2013. Demikian pula jika dibanding impor Januari 2013 turun 3,46%. Impor nonmigas Januari 2014 sebesar US$11,36 miliar atau naik US$0,12 miliar (1,13%) dibanding Desember 2013, sementara bila dibandingkan Januari 2013 turun 1,07%. Impor migas Januari 2014 sebesar US$3,56 miliar atau turun US$0,66 miliar (15,81%) dibanding Desember 2013, demikian pula jika dibanding impor Januari 2013 turun 10,39%.
Nilai impor nonmigas terbesar Januari 2014 adalah golongan barang mesin dan peralatan mekanik dengan nilai US$2,18 miliar. Nilai ini turun 5,56% dibanding impor golongan barang yang sama Desember 2013. Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari 2014 masih ditempati oleh Cina dengan nilai US$2,74 miliar (24,07%), diikuti Jepang US$1,47 miliar (12,96%) dan Singapura US$0,83 miliar (7,31%). Impor nonmigas dari ASEAN mencapai 20,52%, sementara dari Uni Eropa sebesar 10,22%.
Nilai impor golongan bahan baku/penolong selama Januari 2014 mengalami penurunan 5,29% dibanding impor bulan yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan untuk golongan barang konsumsi dan barang modal mengalami peningkatan masing-masing sebesar 8,26% dan 0,80%.
Secara keseluruhan nilai neraca perdagangan Indonesia Januari 2014 mengalami defisit sebesar US$0,43 miliar, disebabkan oleh besarnya defisit neraca sektor migas, yaitu sebesar US$1,06 miliar walaupun sektor nonmigas mengalami surplus sebesar US$0,63 miliar. Ini hendaknya menjadi catatan serius pemerintah agar di bulan-bulan berikutnya dapat mencapai surplus.
Nilai CIF (Juta US$)
| |
Perubahan
|
Peran thd Total
| ||||
Uraian |
Januari 2013
|
Desember 2013
|
Januari 2014
|
% Growth (mtm)
|
% Share
| ||
Total Impor |
15.450,2
|
15.455,9
|
14.915,5
|
-3,46
|
100,00
| ||
Migas |
3.966,0
|
4.221,6
|
3.554,1
|
-10,39
|
23,83
| ||
Minyak Mentah |
1.186,4
|
1.076,0
|
902,4
|
-23,94
|
6,05
| ||
Hasil Minyak |
2.492,1
|
2.748,5
|
2.339,0
|
-6,14
|
15,68
| ||
Gas |
287,5
|
397,1
|
312,7
|
8,77
|
2,10
| ||
Nonmigas |
11.484,2
|
11.234,3
|
11.361,4
|
-1,07
|
76,17
| ||
Apresiasi rupiah
Untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan agar tidak defisit, pemerintah harus mengupayakan menggenjot ekspor nonmigas dan produk manufaktur secara optimal dibarengi dengan upaya mengerem impor bahan baku dan barang penolong (barang setengah jadi) melalui substitusi bahan baku dan barang setengah jadi bersumber dari dalam negeri.
Kecuali bahan baku dan bahan penolong memang tidak tersedia di dalam negeri, maka bolehlah impor dilakukan. Semua upaya tersebut sebagai upaya mencapai target rasio defisit transksi berjalan (DTB) terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kisaran 2,5%-3,0% sebagai ambang batas yang aman dan sehat di tahun ini.
Pengelolaan makroekonomi yang baik dan hati-hati tersebut akan sangat membantu penguatan nilai tukar rupiah yang sudah terlihat dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini dari Rp 12.000-an/dolar AS ke Rp 11.600-an/dolar AS. Kini kurs rupiah bergerak menuju ekuilibrium baru.
Pekan lalu (3/3/2014) , rupiah di pasar spot, Jakarta, bergerak pada kisaran Rp 11.600-Rp 11.700 per dolar AS. Kalangan analis memperkirakan, tahun ini, rupiah —yang pada akhir tahun lalu dan awal Januari 2014 pernah menembus Rp 12.500 per dolar AS— bakal bergerak ke level Rp 11.100-Rp 11.500 per dolar AS.
Ketika rupiah berada pada level di atas Rp 12.000 per dolar AS, para analis menilai kondisi itu mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Bank Indonesia (BI) ketika itu pun mengakui kurs yang bertahan pada level tertentu dalam waktu lama, lebih dari tiga bulan, mencerminkan kondisi fundamental ekonomi.
Pelemahan rupiah sudah terjadi konsisten sejak Juni 2013. Ketika itu, bank sentral mulai menaikkan BI rate 25 basis poin menjadi 6% guna merespons pelemahan rupiah. Kenaikan BI rate mencapai 7,5% pada November 2013. BI khawatir rupiah bergerak liar seperti tahun 1998 saat krisis moneter mendera negara ini. Masyarakat dan pelaku bisnis sangat terpukul dengan pelemahan rupiah yang tajam, yang merosot dari Rp 2.500 pada tahun 1997 ke level Rp 16.000 per dolar AS pada pertengahan 1998.
Ketika itu terjadi apa yang disebut stagflasi, yakni inflasi tinggi yang dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi minus. Pertumbuhan ekonomi tahun 1998 minus 13,1%, inflasi meroket hingga 17% lebih, dan berbagai kebijakan moneter yang diambil BI tidak mampu mengubah keadaan. Kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) yang mencapai 175 basis poin tidak mampu menekan inflasi dan memperkuat rupiah. Karena masalah utama ada di fundamental ekonomi. Jadi, problem struktural inilah yang harus segera diperbaiki oleh pemerintahan sekarang ini dan pemerintahan yang akan datang agar fundamental ekonomi benar-benar kuat dan solid dalam jangka panjang.
Langkah paling penting bukan sekadar perubahan asumsi makro, melainkan perbaikan struktur ekonomi Indonesia. Pemerintah harus memacu ekspor produk olahan. Ekspor produk primer perlu segera digeser ke ekspor produk industri olahan yang didukung tenaga kerja terampil berproduktivitas tinggi. Juga diperlukan insentif fiskal bagi industri baru, khususnya industri barang modal dan industri dasar serta industri yang dibangun di wilayah-wilayah baru.
Pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi, harus dipercepat untuk mengurangi biaya logistik dan mempercepat konektivitas. Impor BBM harus dikurangi antara lain lewat pengurangan bertahap subsidi BBM yang tidak terarah. Semua BUMN dan perusahaan diimbau memprioritaskan pengeluaran dalam rupiah, bukan dolar AS.
0 komentar:
Posting Komentar